Azwar di Mata Saya

Kehidupan terus berjalan maju tanpa ada satu manusiapun yang bisa menunda bagaimana kehidupan itu berjalan. Seiring proses, sahabat, teman, dan keluarga akan memiliki kehidupan masing-masing. Masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa sejatinya ialah proses pembelajaran tanpa henti.

Seorang sahabat pernah mengajarkan saya mengenai arti penting kehidupan dan saya sangat bangga dengannya. Azwar nama sahabat saya, kami berteman sejak kelas satu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) tepatnya di SMP Negeri 7 Banda Aceh.

Azwar Masa SMP, saat pertama mengenal Azwar, saya mengira dia anak yang nakal. Penilaian itu tentu saja dari kaca mata saya yang belum mengenal lebih dekat dengannya. Di Angkatan kami, Azwar merupakan siswa yang cukup berpengaruh, bukan tidak beralasan saya menyampaikan itu, melainkan Azwar pernah menjadi juara lari tingkat pelajar dan cukup sering dilibatkan oleh guru olahraga untuk memperkuat tim sepak bola SMP N 7 saat ada pertandingan antar sekolah.

Tidak berhenti disitu, Azwar merupakan siswa kelas kami yang menjadi murid kesayangan guru matematika, disini saya sangat mengagumi sahabat saya ini. Selain tangkas dalam berolahraga, dia juga pintar matematika, perpaduan komplit otot dan otak bagi seorang pelajar. Kalian menyangka itu? Ya! Saya saksinya. Jika pun masih belum meyakinkan kalian, minta saja rapornya, kalian pasti akan tercengang. Dia selalu berada di peringkat 3 besar.

Azwar Masa SMA, kami bersekolah di SMA yang sama, SMA N 9 Banda Aceh yang berada dalam lingkungan Stadion Harapan Bangsa. Kali ini saya semakin kenal lebih jauh mengenai sahabat saya ini, karena mulai dari kelas satu hingga kelas tiga kami selalu di kelas yang sama. Ada hal menarik yang saya ingat hingga hari ini mengenai Azwar. Argumentasinya terhadap pelajaran semakin meningkat jauh, terbukti ia pernah berdebat dengan guru Bahasa Inggris pada mata pelajaran Bahasa Inggris, dan guru tersebut membenarkan argumentasi Azwar. Dalam mata pelajaran matematika dan fisika Azwar juga cukup aktif bertanya dan menjawab soalan mata pelajaran tersebut. Bagi saya yang memang tidak memiliki minat dalam beberapa pelajaran, hal tersebut membuat saya sangat kagum dengan Azwar.

Azwar Masa Kuliah, Kekaguman saya semakin bertambah saat Azwar diterima masuk Universitas Syiah Kuala melalui jalur undangan. Bahkan saya tidak pernah bermimpi mendapat undangan dari kampus favorit saat itu. Disaat Azwar mendapat undangan untuk kuliah, disaat itu pula saya tidak lulus Seleksi Masuk Perguruan tinggi Negeri (SMPTN), hingga akhirnya saya mengikuti Ujian Masuk Bersama (UMB) di Universitas Syiah Kuala. Azwar mengambil jurusan Teknik Pertanian pada Fakultas Pertanian, sedangkan saya lulus UMB di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsyiah.

Saat kuliah kami sering menghabiskan waktu di kampus dan warkop. Karena kebiasaan bertemu ini, tidak jarang kami saling berargumentasi mengenai apapun terkait isu yang sedang hangat, baik ilmu pengetahuan hingga politik. Bahkan kebiasaan saling berargumentasi tersebut masih kami lakukan hingga saat ini.

Azwar tetaplah Azwar yang bisa diterima dalam kelompok manapun, terutama di lingkungan kampus, Azwar tetap mempertahankan eksistensinya secara natural. Azwar mampu bergaul dengan senior kampus, bahkan ia cukup dihormati oleh junior kampus. Bahkan ia pernah memimpin kegiatan Ajang Keakraban dan Silaturahmi Teknik Pertanian (AKSI Teta) yang berjalan sukses.

Azwar selalu berpikir dan bertindak menggunakan logika, entah itu terbentuk secara alami atau melalui proses pembentukan. Saya masih ingat saat Azwar menyampaikan ingin bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Leuser, salah satu UKM Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) yang ada di Unsyiah. Ia menceritakan kepada saya betapa serunya Pendidikan Dasar (Diksar) yang ia tempuh, dimana ia harus bertahan mengikuti Diksar di Tengah hutan.

Jika saya melihat kematangan karakter dan jiwa kepemimpinan Azwar semakin terbentuk saat ia bergabung menjadi anggota Mapala Leuser. Saat ia selesai melakukan ekspedisi, ia selalu membagikan kisah petualangannya kepada saya, Arung Jeram, jelajah gua, dan pendakian. Tidak jarang ia menyimpan foto-foto petualangannya di komputer saya. Saya semakin kagum!

Kami sering melakukan pendakian dibeberapa gunung seputaran Aceh Besar diantaranya, Glee Goh Leumo dan Lhok Mata Ie. Dalam setiap pendakian Azwar selalu memiliki keahlian memimpin tim, mulai dari buka jalur hingga spot berkemah ia paham. Saya pribadi merasa aman saat mendaki bersama Azwar karena memang hal tersebut adalah keahliannya.

Azwar Sahabat Terbaik, tidak jarang dalam berargumentasi ada emosi yang terlibat, namun kebiasaan dunia akademis kami mampu mengenyampingkan hal tersebut. Hal yang cukup mengherankan bagi saya adalah Azwar tidak buta informasi. Apapun yang akan menjadi pembahasan, Azwar mampu berargumen dengan seluruh isu tersebut, agama, pendidikan, politik, olahraga, bahkan anime ia paham dan mengerti. Semakin luar biasa.

Azwar merupakan tipe sahabat yang akan mendampingi permasalahan hingga tuntas, tak jarang wejangan dan motivasi darinya sangat menyejukkan dan memulihkan logika yang kusut. Tahun 2008 saya kecelakaan hingga membuat kaki kiri saya cedera parah. Saat itu saya diharuskan menggunakan tongkat, dengan sigap Azwar rutin menjenguk bahkan tidak ragu untuk mengantar saya ke kampus. Masih banyak hal-hal luar biasa yang ada pada diri Azwar mungkin tidak terbahas dalam tulisan ini. Maka dalam buku saya yang berjudul “Banda Aceh dalam 19 Babak” kisah Azwar hadir menghiasi sebagai bentuk kekaguman saya terhadap dirinya.

Azwar selalu hadir dengan problem solving (penyelesaian masalah) yang mengajak kita berpikir logis. Namun terpenting ialah, Ia akan cukup berupaya keras untuk menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang sahabatnya hadapi. Sejauh yang saya kenal, Azwar tidak akan pernah menyerah dalam keadaan apapun, ia mengajarkan saya untuk survive dalam menjalani hidup dan juga selalu mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan.

Saya selalu kagum dengannya, terlebih terhadap visi misi hidupnya yang mengajak kita untuk berupaya keras menciptakan keselarasan dalam kehidupan. Bagi saya, Azwar merupakan sosok sahabat terbaik sepanjang masa.

Teruslah berjuang sahabat, visi dan misimu layak diperjuangkan.

BERLAKU LAYAKNYA PION

Bagian 1

Pagi ini (Sabtu, 16 September 2023) saya dibangunkan oleh bunyi pesan Whatsapp yang masuk di handphone. Pesan tersebut berisikan tangkapan layar Instagram stories  yang ada foto saya dalamnya. Pemilik akun tersebut seolah mencoba untuk kembali membuka ingatan saya dalam beberapa waktu lalu. Terlihat saya berada di tengah dua orang senior Karate Aceh, yang secara pribadi tidak ada masalah apapun dengan saya.

Saya berpikir dan mencoba untuk menafsirkan pesan yang ia bagikan tersebut dalam berbagai perspektif akademis.

  1. Perspektif Kekaguman.

Kagum apabila kita merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah heran (dengan rasa memuji); takjub; tercengang. Secara harfiah kagum adalah perasaan yang timbul dari dasar hati yang bersifat takjub. Perasaan ini masih masuk dalam kelompok positif dari sebuah perasaan.

Contoh yang bisa saya gambarkan didunia olahraga adalah, ketika anda takjub melihat performa seorang atlet yang bertanding dengan mengerahkan seluruh kemampuan terbaik yang dimilikinya sehingga dia layak berada diposisi nomor satu dan meraih medali emas dalam kejuaraan yang ia ikuti.

Contoh kagum yang saya alami ialah, saya takjub melihat perjuangan tim Karate Kota Banda Aceh pada Pekan Olahraga Aceh (PORA) Pidie, Desember 2022 yang lalu. Ketakjuban ataupun kekaguman saya terhadap Karateka Kota Banda Aceh tersebut ternyata tidak serta merta diikuti dengan kekaguman orang lain atas mereka, bahkan melihat perjuangan mereka biasa saja.

Hal tersebut tidak menjadi masalah karena setiap orang memiliki standar berbeda untuk mengagumi. Sama seperti saya hari ini yang sedikitpun tidak kagum dengan IG stories yang diunggahnya. Alasan saya tidak kagum karena memang pesan yang dia ingin sampaikan sangat kosong dan seakan saya bisa menyelam ke pemikirannya yang ternyata saya tidak menemukan apa-apa.

Dalam perspektif kekaguman ini saya anggap dia gagal dan tidak berhasil mengutarakan pendapat valid yang bisa digunakan untuk berbagi informasi. Alhasil agar followernya meningkat tangkapan layer tersebut beserta username akun IG miliknya saya posting di IG stories saya. Semoga followernya semakin bertambah dan bisa diundang dalam podcast ternama.

2. Perspektif Keilmuan

Unggahan IG Stories tersebut lebih mencerminkan informasi gosip daripada menjernihkan suasana kacau yang ingin dipersatukan. Tak ubah seperti akun-akun gosip di Instagram dan jika pemilik akun tersebut konsisten, ia akan mendapatkan keuntungan berlebih dari akun Instagramnya.

Gelar akademis yang tersemat diujung nama akun Instagramnya memberikan gambaran bahwa proses perkuliahan yang ia lalui hanyalah kegiatan hadir, paraf dan pulang nilai kita pikirkan nanti.

Mungkin saya harus memberikan pemahaman dasar terkait ilmu. KBBI menjelaskan bahwa ilmu ialah suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode ilmiah yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan menerangkan kondisi tertentu dalam bidang pengetahuan.

Mohammad Hatta mengatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan mengatur tentang suatu pekerjaan umum, karena akibat dalam suatu kelompok masalah yang sifatnya sama baik dilihat dari kedudukannya ataupun hubungannya yang tampak dari luar, maupun dalam.

Pendapat di atas menandakan bahwa ia mengunggah pesan ataupun informasi IG stories miliknya sama sekali tidak menyentuh ranah keilmuan.

3. Perspektif Loyalitas

Mari kita mengulik dan merujuk lagi kepada KBBI terkait loyalitas. Loyalitas adalah ketaatan atau kesetiaan. Loyalitas sendiri berasal dari kata loyal yang berarti setia. Pemilik akun cenderung lupa di bermain dengan permainan siapa, bahkan membutakan matanya untuk terus menunjukkan sikap loyal dengan tidak memperdulikan substansi secara keseluruhan.

Bahkan bagi kaum buruh, terdapat kalimat yang cukup membangkitkan perlawanan terkait loyalitas. “Aku bekerja mencari uang, jika berharap loyalitas, piara anjing saja”. Karena terbukti benar bahwa manusia terus berubah.

Terlebih dalam politik terdapat kalimat yang cukup terkenal, “dalam politik tidak ada teman sejati, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan”. Sedikit menyadarkan anda yang berperan sebagai pion dalam permainan ini. Suatu waktu pion bisa membunuh raja, tapi ingat berapa pion yang sudah mati untuk menghadapi satu raja?

Mungkin pemilik akun tersebut lupa atau bahkan belum pernah mendapatkan pemahaman terkait realita loyalitas sebenarnya.

4. Perspektif Adu Domba

Dalam ilmu politik ada istilah divide et impera (Politik adu domba). Namun anehnya saya tidak menangkap adanya ilmu dari unggahannya tersebut. Harapan pemilik akun mungkin ingin target yang dituju bereaksi. Reaksi tersebut sudah dilakukan dalam bentuk perspektif akademis melalui tulisan ini.

Pemikiran tidak cerdas yang ia perlihatkan justru akan berbalik terhadap dirinya yang kosong. Saya sering mengutip kalimat “serigala tidak bermain dengan sekumpulan domba”. Kalimat ini saya rasa cukup untuk memberikan pemahaman kepada si pemilik akun untuk lebih meningkatkan pemahaman dalam keilmuan.

5. Perspektif Komunikasi

Saya rasa, tidak ada lagi keterbatasan ruang komunikasi diera ini. Bahwan kita bisa saling mengirimkan pesan walaupun tidak memiliki nomor telfon pribadi. Bisa menggunakan media sosial yang disediakan secara gratis. Pemilik akun bisa menghubungi saya jika ia mau, namun hal tersebut tidak ia lakukan.

Maka dalam teori komunikasi dikenal sebuah teori dengan sebutan snow ball theory (teori bola salju) dimana pesan yang disampaikan pertamakali akan bergulir menjadi lebih besar, termasuk isi dari pesan tersebut bisa saja berkembang.

Berharap ingin memantik isu, namun yang didapat hanya deklarasi kekosongan dari pikiran yang bertumpu pada fakta ia bermulut besar.

Tulisan ini mencoba mengajak seluruh pembaca melihat lebih dalam terkait konflik dalam sebuah organisasi. Dalam setiap konflik akan ada orang yang berperan sebagai pengendali, informan, dan eksekutor. Pemilik akun Instagram tersebut, saat ini tengah berperan sebagai eksekutor.

Semula proses infromasi yang ia terima diolah menjadi sebuah isu dan ditampilkan dalam bentuk informasi sederhana yang tidak memenuhi unsur keilmuan, diterima oleh orang dan diharapkan berkembang sehingga tersemat kata “viral” dari unggahannya di media sosial Instagram.

Mari kita cerdas, tidak masalah jika ingin berperan sebagai pion, namun pastikan kamu pion yang akan membunuh raja dan setelah permainan selesai kamu akan diangkat dan disusun kembali menjadi pion.

Perspektif Kotoran Anjing

Penjaringan talenta muda olahraga telah berlalu. Banyak hal yang terjadi dalam sebuah event olahraga, suka dan duka, bahkan ceria dan air mata. Entah air mata haru, bahagia atau derita.

Sang juara telah ditentukan, telah terlahir kepada wujud nyata. Disisi lain masih ada “dia” yang melihat kompetisi sebagai arah yang tak berujung. Hati yang kecewa membuat mata dan isi kepala kepada arah yang tak disangka. Dia melihat kompetisi dari perspektif luka. Bisa jadi kompetisi baginya adalah seperti onani yang harus berakhir dengan muncratan sperma. Sedangkal itu kompetisi yang ada di kepalanya.

Hendaknya dia belajar banyak dari seekor kucing yang mengubur rapi kotorannya. Tidak seperti anjing yang membiarkan kotorannya terekspose pada dunia. Maka itu perspektif kotoran anjing tak perlu  dikemukakan. Kekalahan hanya cerita lain dari sebuah kompetisi olahraga. Bukankah tokoh-tokoh dunia pernah kalah dan dipermalukan, namun mental mereka siap untuk bergerak, tidak untuk merengek seperti bayi. Menyalahkan setiap orang bahkan mencari kesalahan dari semuanya hanya untuk mendapat pengakuan bahwa perspektif kotoran anjing adalah yang paling benar.

Membicarakan pengalaman, sangat berbahaya memetik pelajaran dari pengalaman hanya dengan satu sudut pandang saja. Keburukan seperti apa yang diinginkan? Jika seperti itu, sudah barang tentu tidak ada yang paling baik dan paling benar di dunia ini daripada dirinya sendiri. Ayo jangan samakan setiap hal seperti onani.

Jika memang kompetisi lebih memberikan luka maka dia semestinya berhenti dan jangan berkompetisi. Jika kebesaran nama yang menjadi beban maka berhenti seharusnya menjadi jawaban. Namun harusnya dia sadar bahwa ada candu dalam kompetisi olahraga. Adrenalin yang meningkat, sikap ingin mengalahkan, perasaan ingin diunggulkan serta pengakuan. Hal tersebut merupakan wujud nyata mengapa setiap orang senang dengan kompetisi, terlebih olahraga.

Ketika ketidakbecusan kita dalam berkompetisi membuat kita mengkambing hitamkan orang maupun hal lain adalah sikap yang sangat kekanakan. Mari kita benahi pemikiran terhadap sebuah kompetisi.

Kita tidak hebat, hanya dihebatkan
Kita tidak kuat, hanya dikuatkan
Kita tidak gagah, hanya digagahkan
Stop beropini, kerja dan buktikan saja dengan karya.

Aylin dan Birger

Covid-19 dalam Perspektif Cinta

Dunia saat ini tengah menikmati satu isu yang sama, betapa tidak, tak semenitpun media berhenti memberitakan Corona/Covid-19. Isu ini mengalahkan isu politik yang merupakan isu terbaik dari tahun lalu. Masyarakat tidak lagi menanggapi melemahnya rupiah terhadap dolar, banjir di beberapa wilayah juga tak lagi mendapat perhatian khusus. Covid-19 sukses memviralkan diri di media sosial, Instagram, Twitter, YouTube, bahkan WhatsApp juga turut andil menjadi sarana pemantauan perkembangan informasi terkait covid-19 secara cepat. Setiap Grup WA hampir saban hari masuk pesan mengenai Covid-19 yang mewabah, baik itu sekedar berita, cara penanganan, bahkan berita duka.

Kali ini kita dapat melihat cinta seiring virus yang mewabah. Ya! Cinta pemerintah terhadap rakyat. Pemerintah semakin posesif, tidak mengizinkan kita untuk berkumpul di keramaian, mengingatkan kita untuk selalu cuci tangan, jangan bersalaman untuk sementara waktu. Pemerintah juga santer mengkampanyekan Social Distancing, persis betul seperti seorang pacar yang sangat posesif. Lihat itu sebagai bentuk cinta, dan ikuti saja. Tanpa kita sadari wabah ini memberikan kisah romantis yang kelak akan disampaikan kepada generasi berikutnya. Indonesia pernah berbalut cinta, cinta dalam perspektif posesif, duka, keras kepala, dan semoga berakhir dengan bahagia.

Tentu saja tidak mudah menundukkan Manusia Indonesia, yang sedari dulu hidup lelah dalam penindasan dan penjajahan. Indonesia merupakan tempat manusia merdeka, setidaknya ego itulah yang mampu mengobati ketakutan akan wabah yang melanda. Namun disatu sisi wabah corona berhadapan langsung dengan perut manusia yang lapar. Benar-benar rumit masalah kali ini. Pemerintah saat ini tengah galau.

Dikisahkan pemerintah sebagai “Aylin” dan rakyat sebagai “Birger” adalah sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta dan menghabiskan hari dalam romantisme luar biasa. Percakapan yang terjadi diantara keduanya terdengar begitu indah.

Aylin: “Sayang kamu jangan keluar rumah, jangan ketemu siapapun apalagi sampe Salaman segala, aku gak rela”.

Birger: “iya sayang aku gak akan kemana-mana”.

Begitu posesif bukan?, Namun itulah cinta selalu ada konspirasi dalam sebuah sikap posesif, yang pasti mereka ingin baik-baik saja. Namun Aylin melihat Birger tidak mengindahkan keinginannya. Aylin murka, dengan berbagai cara memaksa Birger untuk tetap dirumah. Birger-pun protes dan menentang keinginan Aylin, “aku gak bisa di kekang begini, aku punya hak untuk tidak berdiam di rumah”. Merekapun terus memperdebatkan hal tersebut hingga tokoh agama turun tangan.

Tentu kita mengerti Aylin bisa saja memberikan pilihan kepada Birger, namun cinta lagi-lagi unggul diatas keduanya. Aylin tetap sabar menghadapi Birger yang memiliki 34 pemikiran dalam kepalanya, begitu pula Birger yang sudah paham betul betapa besar cinta Aylin untuknya. untuk saat ini Aylin meningkatkan sikap posesifnya hingga 85% terhadap birger.

Hal yang tak sanggup kita bayangkan adalah jika Aylin ngambek terhadap Birger. Maka tak pelak kisah cinta mereka akan habis tak bersisa dengan akhir cerita yang sangat mengerikan.

Saban hari kita akan melihat dan menjadi akrab dengan obituari. Sembari menanti kapan giliran kita menghadap sang pencipta. Ini kisah cinta yang paling gila, nyawa menjadi taruhannya. Sudah sewajarnya Birger mengindahkan keinginan Aylin. Sebentar saja, tidak lama, hingga bumi benar-benar baik saja.

Akhir kisah posesif Aylin ini pasti akan bahagia. Banyak cinta yang akan kembali. Pejuang medis akan kembali pada keluarga, anak bisa memeluk dan mencium ibu sepuasnya sembari melepas rindu. Ayah yang kembali mudah mencari nafkah tanpa dibayang-bayangi wabah yang menggila. Aylin pun kembali menyelesaikan tugas menstabilkan harga gula, memantau harga cabe yang akan meroket menjelang puasa. Serta Birger akan puas menjalani 34 pemikirannya.

Tak ada satu orang-pun yang mampu mendefinisikan cinta, karena ia begitu abstrak dan kompleks. Wahai Bumi, jangan terlalu lama kau beristirahat. Duhai dunia tolong segera pastikan kamu baik-baik saja.

Dari Sulawesi Membangun Aceh

Ich, ni, san, shi, go, rogh, sich, hach (hitungan dalam bahasa Jepang-red) sayup-sayup terdengar dari sebuah rumah di Komplek Dolog, Aceh Besar. Rumah tersebut telah disulap menjadi dojo (tempat latihan dalam bahasa Jepang-red). Suasana Jepang kental terasa dalam rumah tersebut. Lantainya dilapisi matras berwarna merah menyala seakan membakar semangat para karateka yang sedang berlatih.

Ratusan buku, CD (compact disk) dan DVD (digital video disk) bela diri terpampang rapi di sebuah lemari besar, seakan mencerminkan betapa gilanya sang pemilik tempat ini akan seni bela diri. Terlebih ketika mataku tertuju pada poster yang menampilkan wajah master dari berbagai macam aliran seni beladiri. Tidak hanya itu, pada dinding yang berbeda juga terpajang beberapa senjata tajam yang digunakan dalam film-film ninja.

Terlihat sesosok pria mengenakan baju karate berwarna hitam dengan sabuk hitam yang sudah mulai robek sedang memimpin latihan. Ini menyiratkan sudah terlalu lama ia menggunakan sabuk hitam itu. Latihan sore itu diikuti beberapa orang murid yang mengenakan baju karate berwarna putih. Empat orang mengenakan sabuk hitam, dua orang mengenakan sabuk putih, dan dua orang lagi mengenakan sabuk hijau. Terlihat keseriusan di wajah karateka yang sedang berlatih dipimpin langsung oleh sensei (guru dalam bahasa jepang-red) Firman Kamal (34).

Pria itu adalah seorang pelatih karate di perguruan Gojukai. Akupun meminta izin untuk bisa lebih banyak berbincang dengannya. Dia membuka pintu ruangan pribadinya dan mengajakku masuk. Terlihat banyak sertifikat yang terbingkai rapi ketika aku masuk keruangannya yang bagaikan ruangan seorang direktur. Seluruh sertifikat yang terbingkai itu ternyata sertifikat internasional. Diantaranya sertifikat DAN (tingkatan sabuk hitam-red). Pria kelahiran Ujung Pandang, 11 juni 1976 ini ternyata juga lulus sebagai Instruktur Internasional di International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) yang berpusat di Jepang. Ini terlihat dari sertifikat yang bertuliskan huruf kanji diruangannya.

Pria hitam manis ini berasal dari Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Sidrap dan bersuku bugis, dibesarkan dikalangan pendekar silat. Kecintaannya terhadap beladiri diwarisi dari kakeknya yang merupakan seorang pendekar silat.

Ia telah menggeluti karate sejak kecil, itupun karena hasutan dari abangnya yang mengatakan agar bisa lulus masuk Fakultas Hukum di Universitas Hasanudin, Makassar harus bisa karate.

“Sejak kelas satu sampai kelas tiga SD saya ikut pencak silat, kelas empat baru saya masuk karate,” katanya.

Firman Kamal juga pernah menjadi atlet karate. Ia pernah menjuarai suatu Kejuaraan Nasional di Makasar. Dalam turnamen ini, ia mampu menyabet tiga medali emas dari tiga kelas yang ia ikuti.

Tidak hanya menjadi juara, menjadi pelatih sudah dijalaninya ketika masih menyandang sabuk cokelat ketika SMP dan SMA. Pria penggemar nanas ini sudah dipercayakan oleh kepala sekolahnya untuk melatih seluruh siswa-siswi di SMA Negeri 1 Pangkajene, Sidrap, Sulawesi Selatan.

Aceh menjadi rumah kedua baginya. Ia hijrah ke Aceh karena harus ikut orang tua yang pindah ke bumi serambi mekah ini. Tahun 2000 menjadi tahun pertama perguruan karate Gojukai lahir di Aceh yang dirintis oleh Firman Kamal dan abang kandungnya Karman Kamal. Mereka berdua menyandang DAN-5. Ini merupakan debut awal Firman Kamal membangun prestasi olahraga Aceh. Terbukti ketika karateka yang diasuhnya menyabet gelar juara di tingkat nasional dan internasional. Putra putri Aceh yang mengukir prestasi itu adalah, Heri Ferdiansyah, Ichwaldi, Nico Febrian Chaniago, Siti Fackrunisa, Ahmad Reza Haryadi, Misbah Destiady, dan Reza Nazarul. Hong Kong dan Malaysia pernah menjadi saksi betapa tangguhnya putra Aceh yang dilatih oleh Sensei Firman Kamal.

Dengan dedikasinya untuk meningkatkan prestasi olahraga karate di Aceh putra ketiga dari pasangan Kartini dan almarhum Kamal Latief ini mendapat penghargaan dari Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, sebagai pelatih berprestasi Aceh.

Meskipun telah lama membuka Dojo di Aceh dan sudah melahirkan atlet yang profesional, alumnus Fakultas Hukum Unsyiah ini masih merasa sedih dan prihatin terhadap nasib karate di Aceh. Ia sedih karena banyak hal yang sudah dilakukannya untuk putra-putri Aceh berjuang Menemani mereka ketika berlatih agar selalu mengibarkan bendera daerah dalam event nasional bahkan internasional. Hanya saja hasil jerih payah ini kurang begitu ditanggapi serius oleh berbagai pihak yang terkait.

“Ini membuat saya sedikit patah arang. Saya memilih jalur lain untuk membangun sendi-sendi putra-putri Aceh melalui sekolah beladiri yang saya buat,” tuturnya miris.

“Kapan saja saya bisa melatih, hanya jalurnya harus diubah agar jangan terbentur dengan pihak-pihak yang tidak sepaham,” lanjutnya dengan raut wajah menyiratkan kekecewaan.

Firman Kamal menjelaskan bahwa karate adalah salah satu seni beladiri yang memiliki teknik yang tepat. Seni yang indah dan mengandung teknik serangan dan pertahanan yang efektifitasnya fleksibel.

“Karate bisa digunakan dalam situasi dan kondisi apapun,” katanya.

Menurut Firman, karate di Aceh hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan individu semata. Pelakunya hanya menjual para atlet agar mendapat dana dari pemerintah.

Harapan yang mendalam sempat dilontarkan oleh Firman. Ia berharap pengurus FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia) Aceh harus dirombak. Orang-orang di dalamnya harus digantikan dengan orang-orang yang pantas memajukan karate aceh.

Meskipun kondisi miris yang dialami oleh atlet karate di Aceh, Firman masih mau dan berkomitmen untuk tetap melatih putra putri Aceh khususnya dibidang karate.

“Insya Allah saya tetap punya komitmen itu. Kalau perlu dengan dana dari sekolah beladiri nanti saya buat wadah percetakan atlet berprestasi secara cepat dan bekerja sama dengan pelatih asing, karena saya tidak berharap bantuan dari Pemda (Pemerintah Daerah) dan KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Aceh,” ungkapnya dengan yakin.

*Tulisan ini telah di posting di akun facebook penulis sejak 27 Februari 2011.*

Pelatih

Berbicara mengenai latihan tentu erat kaitannya dengan pelatih. Pelatih atau orang yang melatih ataupun orang yang mengajarkan suatu hal pada orang lain. Sama sebutannya dengan guru di sekolah dan ustadz di balai pengajian. Namun, sejauh apakah peran dari seorang pelatih itu? Disini saya akan membahas peran dan tugas dari seorang pelatih dari sudut pandang dan pengalaman pribadi saya.

Pelatih sebagai pembimbing

Pelatih seringkali dipandang hanya sebagai seseorang yang bertugas melatih saja. Namun sejatinya seorang pelatih lebih luas tugasnya daripada itu. Seorang pelatih harus mampu memahami karakter dan psikis dari setiap atlet yang dilatihnya. Tentu dalam proses latihan harus ada kedekatan yang menjalin ikatan emosional yang kuat antara pelatih dan atlet. Dalam perjalanannya atlet harus benar-benar yakin dan percaya pada pelatihnya. Begitu pula sebaliknya, pelatih juga harus selalu memberikan contoh baik dan menjawab kepercayaan dari atlet. Maka ikatan kepercayaan tersebut akan membangun suatu dampak positif terhadap prestasi atlet.

Pelatih sebagai problem solving

Sosok seorang pelatih cenderung dituntut untuk mengenal lebih dalam satiap atlet-atletnya. Dalam hal apapun pelatih harus peka terhadap kondisi psikis atlet. Setiap atlet tentu memiliki masalah dalam keseharian yang berbeda-beda. Entah karena pacar, keuangan, keluarga, lingkungan sosial, dan masalah lain yang dapat mengganggu proses latihan yang berdampak buruk pada prestasi atlet. Sudah semestinya pelatih dapat memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah si atlet. Terkadang tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh seorang pelatih, paling tidak solusi dan saran yang baik bisa menenangkan atlet.

Alasan memerlukan pelatih

Atlet yang tidak paham akan fungsi pelatih cenderung merasa dirinya hebat. “Tanpa pelatih saya juga bisa”, ini merupakan statement keliru yang berdampak pada awal dari turunnya prestasi. Setiap atlet membutuhkan pelatih dan tanpa terkecuali, bahkan atlet kelas dunia sekalipun. Muhammad Ali yang merupakan legenda tinju dunia, juara kelas berat tetap sangat memerlukan seorang pelatih. Begitu pula dengan Mike Tyson, petinju yang dijuluki ” leher beton” juga tetap memerlukan sorang pelatih. Padahal mereka memiliki segudang pengalaman bertarung, dan ribuan jam waktu telah dihabiskan untuk berlatih yang bisa saja mereka jadikan alasan “saya bisa sendiri”. Namun seiring perjalanannya tidak ada satu pertandinganpun dilalui tanpa seorang pelatih.

Sebagai manusia tentu kita tidak bisa menilai diri kita sendiri, dan kita cenderung tidak mampu memenej secara baik waktu yang kita miliki. Maka disitulah peran pelatih yang melihat secara detail setiap gerakan yang kita lakukan. Pelatih mampu menganalisa efektifitas gerakan yang benar. Pelatih mampu membantu seorang atlet mengatur jadwal latihan. Intinya ialah setiap manusia membutuhkan orang lain untuk mengoreksi baik dan buruk. Alasan inilah yang membuat setiap atlet wajib dibimbing oleh pelatih.

Pelatih sebagai motivator

Proses latihan terasa sangat berat apabila tingkat stress dan rasa jenuh yang dirasakan seorang atlet begitu tinggi. Bukan hanya suplemen dan makanan terbaik yang harus diberikan kepada atlet, melainkan dorongan semangat dan dukungan positif yang keluar dari mulut seorang pelatih merupakan kunci sukses dalam berlatih. Contoh kecil, ketika atlet mengatakan “saya gak sanggup, saya gak kuat” dititik inilah seorang pelatih memberikan ocehan semangat yang mampu membakar kekuatan dari dalam diri atlet. Dengan bahasa positif yang dapat membangun daya juang atlet dalam berlatih. Dari hal itu pelatih bisa memperkenalkan sejauh mana kemampuan diri pada seorang atlet.

Pelatih tetap pelatih

Ketika seorang atlet mampu memenangkan sebuah pertandingan maka atlet tersebut akan menjadi bintang yang bersinar. Namun bagaimana dengan pelatih? Dalam kondisi ini pelatih tetaplah seorang pelatih yang bertugas melatih dan membimbing seorang atlet. Bahkan ketika atlet yang telah menjadi bintang tidak mengakui pelatihnya disitu pula pelatih tetap menjadi seorang pelatih. Pelatih adalah profesi yang sangat mulia.

Pelatih wajib berkorban

Pelatih memiliki satu tujuan yaitu prestasi terbaik bagi atletnya. Seiring perjalanannya menjadi pelatih sudah tentu wajib berkorban untuk kepentingan prestasi. (Korban pikiran) pelatih sering memiliki dua cabang pikiran antara masalah pribadi dan masalah atlet, ini yang dimaksud dengan korban pikiran. (Korban waktu) waktu dilapangan terkadang lebih lama dibandingkan dengan waktu bersama keluarga. (Korban materi) saat atlet bermasalah dengan asupan suplemen dan makanan, pelatih terkadang menyelesaikan permasalahan tersebut dengan biaya pribadi.

Atlet hebat terlahir dari tangan hebat pelatih, namun pelatih hebat dia yang lahir dari keikhlasan, keyakinan dan profesialisme tinggi.

Pesan untuk Mahasiswa

Teruntuk mahasiswa, tanpa kamu sadari, kamu berhasil mengalahkan ribuan calon mahasiswa lain yang berharap bisa mencap pendidikan di universitas dan jurusan yang kamu tempuh sekarang. Menjadi mahasiswa memang tidak semudah menjadi pelajar SMA yang masih bisa dan sempat bermain setelah kegiatan sekolah usai.

Menjadi mahasiswa bukan semata-mata karena kita tidak tau mau ngapain setelah lulus SMA. Menjadi mahasiswa berarti kita mewakili lapisan masyarakat sosial dan dituntut untuk menjadi masyarakat dengan taraf berfikir ilmiah yang kemudian mengabdi demi kepentingan masyarakat banyak.

Menjadi mahasiswa, kita secara sadar akan merasakan perubahan drastis dari pola pergaulan. Masa SMA kita bisa mengikuti ekskul sesuka hati. Sudah pasti saat kuliah kegiatan itu belum tentu bisa kita lakukan.

Lelah?
Itu udah pasti, toh sebagai manusia kita memang mempunyai keterbatasan dari segi fisik. Namun saat lelah itu menjadi alasan utama untuk kita meninggalkan pendidikan yang tengah kita tempuh. Itu tidak baik!

Bosan?
Ini masih fase awal dari smester perkuliahan awal. Kamu masih harus lebih mengenal kawan kampus dan libatkan diri bersama mereka dalam hal canda tawa yang membuat kamu relax n rindu akan perkuliahan.

Gak sanggup?
Ayolah, jangan terus berfikir layaknya seorang pecundang. Sudah 12 tahun terhitung sejak kamu SD sampai SMA kamu terus belajar. Nah ini kok sanggup? Sisa cuma 4 tahun lagi, gak lama…

Semester awal 1, 2, dan 3 memang terasa begitu berat. 4 dan seterusnya, kamu akan nikmati setiap proses perkuliahan.

Banyak tugas?
Yaialah mahasiswa. Semua orang hebat menempuh jalan yang berat untuk ke puncak.

Hakikat manusia
Manusia diciptakan untuk membawa perubahan besar bagi dunia. Ilmu menjadi alat utama dan satu-satunya cara manusia mengubah dunia dan mengenal sang Khalik. Menuntut ilmu itu wajib, jangan pernah lelah.

Jangan takut
Kita cenderung takut, setelah kuliah mau ngapain? Mau kemana? Ada kerja gak ya? Hal ini jangan pernah ditanyakan, tapi kita yang merancang mau kemana kita? Dan Allah penentu dari segalanya. Jadi jangan takut. Rezeki kamu gak akan ketukar.

Yakin
Yakin dengan kemampuan diri itu penting. Terus motivasi diri kamu. Ada hal besar yang bisa kamu hadirkan setelah kamu selesai kuliah.

Tidak di Unggulkan

Pentingkah menjadi unggul? tentu pernah terbesit dalam pemikiran saya mengenai keunggulan diri. Mempertanyakan kemampuan diri menjadi kegiatan yang seakan hanya mengisi waktu senggang saja. Namu dilain sisi bagi saya ini layak di pertanyakan pada diri sendiri, sejauh apa saya mampu berbuat?.

Bagi kebanyakan orang tentu memiliki perasaan minder ketika tidak di unggulkan, seakan menjadi kaum minoritas dalam suatu kelompok. Hal ini pernah terjadi pada diri saya ketika tidak di unggulkan. Perasaan kesal, marah, dan kecewa berkecamuk dalam diri ketika ingin terlibat dalam satu kegiatan namun tidak dilirik dan bahkan tidak dianggap.

saat duduk di bangku sekolah dasar saya tergolong memiliki tubuh kecil dengan kepala yang besar. Seakan tidak cocok antara ukuran kepala dan badan. Saat itu saya memilih SD tersebut karena SD tersebut mewajibkan mengenakan pakaian Pramuka setiap hari jumat dan sabtu. Saya menyukai pakaian pramuka karena ada kain seperti peletakan lambang pangkat di bahu. dan mengenakan pakaian Pramuka bagi saya sangat gagah seperti tentara. Hingga saat ini saya bangga dengan tentara, dan senang mendengar kisah heroik para tentara Indonesia. Namun adakalanya saya kecewa dengan ketentaraan, saat mereka bertindak di luar batas kemanusiaan.

Ada rasa kecewa ketika saya duduk di bangku kelas 5 SD saat pemilihan peserta upacara mengenakan pakaian Pramuka di Blang Padang Banda Aceh. Guru olahraga saya saat itu merupakan seorang wanita, masuk ke kelas kami dan mengumumkan perekrutan peserta upacara mengenakan pakaian pramuka. Dengan semangat membara, saya mengangkat tangan seraya berkata “Bu saya, mau ikut bu” dan hal yang luar biasa terjadi ialah guru tersebut tidak melirik saya. Kebetulan saat itu saya duduk di bangku ke tiga dari belakang.

Sambil melihat ke seluruh penjuru kelas, guru tersebut mulai memilih teman-teman saya yang memiliki badan lebih besar. Saya mengetahui hal itu karena memang mereka yang berbadan besar yang terpilih, dan saya juga mengetahui bahwasanya mereka tidak mau terpilih dalam kegiatan upacara tersebut. Menunjukkan keyakinan untuk turut berpartisipasi dalam upacara, saya mulai berdiri dan lagi-lagi mengangkat tangan. Luar biasa ternyata guru tersebut lagi-lagi tidak melihat saya.

Pernah terjadi pada kalian?

Rasa ingin berpartisipasi mendorong keberanian saya untuk maju ke depan meja guru tersebut dengan mengatakan “Bu, saya mau ikut”. Wow, lagi-lagi saya tidak dilirik bahkan ketika sudah di depan meja guru. Perjuangan saya tidak sampai disitu, arah berdiri saya mulai menutupi pandangan guru, kemana mata mengarah disitu saya berdiri. dan ternyata teknik ini berhasil. Ibu guru mulai bertanya kepada saya “Aorta mau ikut?” (padahal nama saya Duta). Dengan gembira saya menjawab “mau bu”, dan guru tersebut kembali bertanya kepada saya dengan rasa tidak yakin akan kemampuan saya “betul mau ikut?”.

ini yang menjadi dasar kekecewaan dari beberapa orang yang pernah tidak diunggulkan. dari kasus ini saya belajar bahwa sangat penting untuk meningkatkan kemampuan diri. Saat SMP saya memilih aktif di Organisasi Pramuka dan mulai memfokuskan diri pada dunia seni bela diri karate.

Karate membuka mata saya untuk melihat betapa luasnya dunia, betapa besarnya kemampuan diri yang harus kita ukur, dan betapa kuatnya keinginan untuk terus maju. Tidak semua orang mau melihat siapa kita, dan apa yang bisa kita lakukan di dunia ini. Dengan ini kita bisa melihat permasalahan sosial secara lebih luas. Menjadi unggul dari yang lain bukanlah hal yang terbaik, namun tidak memandang kecil orang lain ialah hal yang luar biasa baik dalam kehidupan sosial.

Lebih Dalam Mengenai Karate

Mereka yang tidak berlatih karate tentu berfikir bahwa olahraga beladiri yang berasal dari Jepang ini hanya mengajarkan cara berkelahi. Pandangan masyarakat awam mengenai seni beladiri karate masih terlalu sempit. Tidak dapat dipungkiri pula ada sebagian masyarakat yang memahami eksistensi dari karate.

Berasal dari Jepang yang terkenal dengan budaya disiplinnya, tentu setiap praktisi karate terlebih dahulu dilatih kedisiplinannya. Hal pertama yang diajarkan saat bergabung dengan beladiri karate ialah “hormat”. Karate sejatinya lebih menekankan perkembangan mental dan kepribadian secara lebih baik. Maka dari itu hormat ataupun menghormati adalah ajaran dasar sebelum menendang, memukul, dan menangkis.

Karate menuntut ketenangan jiwa dan pengontrolan diri. Maka dari itu dalam proses latihannya para karateka harus selalu menghormati lawan sebelum dan sesudah bertarung. Hal ini bagi orang awam terkesan seperti sok berjiwa besar. Namun disinilah perbedaan mereka yang telah terlatih dan paham akan seni bela diri. Kemampuan mengontrol emosi lebih diutamakan dibandingkan dengan mampu mengalahkan lawan. Tidak akan ada artinya ketika seseorang menang bertarung, namun tidak mampu mengontrol emosinya. Hal yang lebih dikedepankan ialah egoisme dan kerusakan baik pada dirinya maupun lawannya.

Seni bela diri ialah cara memperindah sebuah pertarungan. Berlatih karate tentunya tidak dengan proses instan, diperlukan ketekunan dan disiplin yang tinggi untuk mampu menguasai teknik karate. Mereka yang berlatih karate bukanlah mereka yang tidak pintar, justru mereka yang berlatih karate cenderung memiliki kemampuan dan kecerdasan yang lebih baik. Karate menuntut efektifitas dalam menyerang dan penggunaan pola fikir secara logis dan sistematis.

Kembali pada pengontrolan diri, berlatih karate sama saja dengan berlatih untuk membunuh. Hal ini didasari pada setiap karateka dipersenjatai dan dibekali dengan pengenalan anatomi serta titik vital pada tubuh manusia, yang memungkin seorang karateka melakukan serangan ke titik vital tersebut. Maka daripada itu karate sangat menekankan pengontrolan diri dan etika pada setiap karateka.

Menang dalam pertarungan adalah hal biasa, namun menang tanpa bertarung adalah luar biasa. Ini menjadi bukti bahwa berlatih karate tidak hanya untuk pertarungan. Berlatih karate sejatinya untuk perdamaian. Seberapa besar perdamaian yang mampu kita berikan?, mungkin menjadi pertanyaan akhir dalam menuntut ilmu seni bela diri?. Amat sangat mudah menciptakan sebuah konflik namun susah mendapatkan sebuah perdamaian.

Karate lebih dari sekedar beladiri. Ada cinta yang diajarkan dalam karate. Ada seni yang tersirat dalam setiap teknik. Ada jiwa yang merasa damai dalam proses penemuan pemahaman. Karate mengajarkan hal mulia bagi setiap sendi kehidupan. Karate menuntut untuk terus mencari arti kebaikan. Karate mengajarkan cara menjalani hidup dan cara bertahan hidup dengan perdamaian.

Tips Menulis

Menulis bagi sebagian orang merupakan kegiatan yang sulit untuk dilakukan. Seolah banyak pemikiran yang mengatakan tulisanku jelek, aku gak bisa rangkai kata, aku gak pintar. Secara sederhana menulis tidak ada kaitannya dengan kepintaran melainkan dengan mau atau tidaknya kita menulis. Menulis yang saya maksud disini ialah mencurahkan buah pikir kedalam bentuk yang dapat dibaca. Saya tidak membahas mengenai tulisan tangan jelek atau bagus.

Banyak orang cenderung menganggap bahwa orang yang menulis itu pintar. Bagi saya ini menjadi sedikit kekeliruan. Menulis sejatinya kegiatan secara langsung yang melibatkan kemampuan berfikir dan menumpahkan fikiran kita pada sebuah media yang bisa dibaca.

Sejatinya semua orang bisa menulis, karena semua orang bisa berfikir. Mungkin kita pernah mendapat tugas mengarang pada pelajaran Bahasa Indonesia di bangku SD. Kalimat pertama sebagai pembuka karangan ialah “pada suatu hari”. Ini membuktikan kita mampu menumpahkan hasil buah fikir kita dalam secarik kertas.

Sampai disini mungkin anda tersenyum dan mengatakan “oh iya”.

“Dear Diary”, beranjak bangku SMP sebagian orang mulai mengasah kemampuan menulisnya secara tidak langsung pada buku harian. Hal ini dilakukan hingga ia SMA. Kemudian puisi cinta, bahagia, dan amarah mulai terlahir dan tertulis dikertas.

Oke, kita kembali ke pembahasan. Menulis itu sebenarnya mudah, yang dibutuhkan hanyalah kemampuan menjelaskan sebuah hal yang singkat menjadi kalimat yang panjang serta detail.

Bagi anda yang tidak bisa menulis saya sarankan anda memulai dari sebuah karangan.

Cara berikutnya ialah anda mulai menulis dan menceritakan kegiatan dari bangun tidur hingga anda tertidur kembali. Dan kegiatan ini secara tidak langsung melatih daya ingat anda. Ceritakan secara lengkap apa yang anda alami, anda lihat, anda rasakan.

Langkah berikutnya ialah buatlah sebuah puisi. Tidak perlu menggunakan bahasa sastra atau bahasa kiasan. Langsung saja dengan bahasa yang ada di pikiran anda.

Usahakan anda berlatih menulis setiap hari dengan topik apapun, dan yang paling utama adalah membaca. Terus tambah perbendaharaan kata.